Entah berapa ratus kali aku mengatakan, "terimakasih suamiku" tapi tak pernah sekalipun aku mendengar "terimakasih istriku".
Aku bilang, "terimakasih sudah bekerja keras untuk keluargamu, dan sudah mau menjadi imamku".
Ingin sekali kudengar dari lisannya sekali saja, "terimakasih istriku, karena kamu bersedia menjadi pendampingku dan menjadi ibu dari anak-anakku".
Dikala aku membantunya tapi ternyata caraku salah, ia tak pernah mengucapkan terimakasih dengan tulus dan tersentuh bahwa ada seorang wanita yang bukan saudara sedarahnya ataupun orang tuanya rela memikirkan kebahagiaannya. Ia hanya mengingat kesalahan itu tanpa peduli niat baiknya.
Terus saja ia mengucapkan, "hargai aku". Seolah-olah istrinya tak pernah menghargainya, dan usaha yang dilakukan untuk keluarga kecilnya tidaklah berguna.
Ia tak pernah tahu.....
Semakin hari, hati istri pun semakin hancur. Awalnya ia dengan mudah bangkit dan melupakan kemarahan suaminya. Tapi akhirnya, disaat dia begitu lemah dalam menjalani kehamilannya. Istri tak mendapatkan dukungan moril seorang suami seperti yang ia dambakan dalam hati kecilnya. Bahkan suami sering kali membuatnya menangis di masa istrinya berjuang mengandung anaknya.
Ia hanya bisa meneteskan air mata, dan semakin hari tatapannya semakin kosong seakan tak memiliki semangat hidup lagi. Kakinya begitu berat saat berjalan. Ia merasa menjadi seorang wanita yang tak berguna. Membahagiakan seorang laki-laki yang menjadi kunci surganya saja tak mampu, bagaimana ia bisa mencium bau surga kelak. Itulah kesedihan terbesarnya.
Setiap hari, istri selalu berpikir: apakah aku harus mengakhirinya supaya tak ada lagi amarah karena diriku ini. Mungkin hidup tanpa aku akan lebih baik untuknya, dan tak menjadi beban untuknya. Tak apa, aku akan merawat anak ini sendiri.
Istri tak ingin berharap suaminya mengerti, karena semakin ia berharap hatinya akan semakin hancur.
Mencari makanan ngidam istrinya saja ia enggan. Apalagi harus mengalah dan memaklumi kekurangan istrinya dikala hamil.
Istri tidak mau berharap suaminya mengerti apa yang ia inginkan, karena ketika ia memintanya maka suamipun akan meminta hal yang sama. Seakan-akan tiada cinta yang tulus tanpa pamrih dari seorang suami. Semua kebaikannya, ia inginkan pamrih.
Suamiku, apakah kamu akan bisa memahami ini sebelum semuanya terlambat?
Aku bilang, "terimakasih sudah bekerja keras untuk keluargamu, dan sudah mau menjadi imamku".
Ingin sekali kudengar dari lisannya sekali saja, "terimakasih istriku, karena kamu bersedia menjadi pendampingku dan menjadi ibu dari anak-anakku".
Dikala aku membantunya tapi ternyata caraku salah, ia tak pernah mengucapkan terimakasih dengan tulus dan tersentuh bahwa ada seorang wanita yang bukan saudara sedarahnya ataupun orang tuanya rela memikirkan kebahagiaannya. Ia hanya mengingat kesalahan itu tanpa peduli niat baiknya.
Terus saja ia mengucapkan, "hargai aku". Seolah-olah istrinya tak pernah menghargainya, dan usaha yang dilakukan untuk keluarga kecilnya tidaklah berguna.
Ia tak pernah tahu.....
Semakin hari, hati istri pun semakin hancur. Awalnya ia dengan mudah bangkit dan melupakan kemarahan suaminya. Tapi akhirnya, disaat dia begitu lemah dalam menjalani kehamilannya. Istri tak mendapatkan dukungan moril seorang suami seperti yang ia dambakan dalam hati kecilnya. Bahkan suami sering kali membuatnya menangis di masa istrinya berjuang mengandung anaknya.
Ia hanya bisa meneteskan air mata, dan semakin hari tatapannya semakin kosong seakan tak memiliki semangat hidup lagi. Kakinya begitu berat saat berjalan. Ia merasa menjadi seorang wanita yang tak berguna. Membahagiakan seorang laki-laki yang menjadi kunci surganya saja tak mampu, bagaimana ia bisa mencium bau surga kelak. Itulah kesedihan terbesarnya.
Setiap hari, istri selalu berpikir: apakah aku harus mengakhirinya supaya tak ada lagi amarah karena diriku ini. Mungkin hidup tanpa aku akan lebih baik untuknya, dan tak menjadi beban untuknya. Tak apa, aku akan merawat anak ini sendiri.
Istri tak ingin berharap suaminya mengerti, karena semakin ia berharap hatinya akan semakin hancur.
Mencari makanan ngidam istrinya saja ia enggan. Apalagi harus mengalah dan memaklumi kekurangan istrinya dikala hamil.
Istri tidak mau berharap suaminya mengerti apa yang ia inginkan, karena ketika ia memintanya maka suamipun akan meminta hal yang sama. Seakan-akan tiada cinta yang tulus tanpa pamrih dari seorang suami. Semua kebaikannya, ia inginkan pamrih.
Suamiku, apakah kamu akan bisa memahami ini sebelum semuanya terlambat?
Komentar
Posting Komentar