Langsung ke konten utama

Mencari

Aku sering merasa hidup ini hampa setelah kepergian ke-empat anak kembarku: Zahra, Salsabila, Hamzah, Hafshah. Begitu berat raasnya menanggung rasa bersalah yang begitu dalam. Sering kali aku menangis sangat lama ketika teringat rangkaian demi rangkaian kejadian yang telah terjadi, aku begitu menyalahkan diri sendiri hingga tak tahu apakah diri ini masih berguna.

Selang 3 bulan setelah kepergian meraka, aku kembali diberikan amanah untuk mengandung untuk yang kedua kalinya. Kali ini hanya 1 janin saja dalam kandunganku, lebih mudah bagiku menjalani kehamilan kali ini karena terasa lebih ringan berkali-kali lipat dibandingkan kehamilan quardplet.

Tapi, meskipun aku telah hamil lagi. Rasa hampa itu masih saja tersisa. Perasaanku begitu sensitive dan sering menganggap bahwa aku sudah tidak lagi ada yang menyayangi. Aku sudah tidak berguna lagi untuk siapa-siapa. Aku juga merasa seperti sudah tidak memiliki keluarga.

Memang tidaklah mudah menjalani kehidupan rumah tangga jauh dari keluarga. Tak ada orang tua ataupun mertua yang mendampingi. Tak seperti saudar-saudara suamiku yang lainnya, mereka semua di damping oleh mertua atau orang tuanya. Hidupku saat ini seperti tidak memiliki harapan. Seperti tak ada lagi yang aku inginkan. Ya,... semua pengharapanku sebelumnya sudah dikabulkan oleh Allah. Setelah 3,5 tahun lamanya menunggu akhirnya suamiku bisa berkumpul denganku, kemudian disaat yang bersamaan aku pun hamil.

Sekarang aku mulai berpikir, bagaimana membuat hidup kami menjadi tenang dan tentram. Apa dengan gaji puluhan juta bisa membuat kami hidup bahagia?

Ternyata uang banyak tidak menjamin kita hidup tentram. Beberapa hari ini aku mulai memikirkan, apa yang bisa membuat aku bahagia. Menjalani hidup seperti tanpa beban dan masalah, ikhlas, tenang dan merasa cukup.

Aku teringat dengan seorang sahabatku bernama Wahyu, setiap kali aku mengingatnya aku selalu meneteskan air mata. Aku teringat saat masih susah dulu, saat masih sama-sama sekolah di bangku STM. Dia membawaku ke rumahnya, tak ada yang special disana. Ia hanya menunjukkan kehidupan yang sama seperti aku. Tapi aku merasa seperti melihat diriku sendiri, dan itu membuatku merasa nyaman. No tipu-tipu, ga ada namanya jaim, ya aku merasa menjadi diriku sendiri dan lebih bahagia.

Akhirnya aku hubungi dia, dan tak kusangka ia malah menelpon lebih dulu. Tapi aku tidak mengangkat telponnya, ya.. begitulah kebiasaanku. aku tidak suka ditelephone. Aku lebih nyaman menulis pesan singkat. Kemudian aku menelephonenya ke-esokan harinya. Kami berbincang dengan suara yang tak begitu jelas, entah handphone apa yang dia pakai tapi seperti yang dia katakana bahwa handphonenya dimasukkan ke air oleh anaknya: Zamzam.

Setelah menelephonennya, aku merasa sedikit lega. Dan perasaan dicintai-pun sedikit terobati. Aku berpikir apakah hidupku ini tidak berkah? Kemudian aku mencoba browsing "cara hidup berkah" dan menemukan "7 sunnah rahasia hidup berkah". Ah..sepertinya aku pernah memiliki buku itu, tapi betapa bodohnya aku ini hingga lupa apa isinya. Aku mau mencoba melakukannya, semoga aku dan keluargaku ini bisa menemukan keberkahan hidup. Tak hanyut dalam hingar binger ibu kota yang melelahkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profile Tokoh (Eko Pratomo Suyatno) : Ayah Berhati Malaikat

  Eko Pratomo Suyatno, siapa yang tidak kenal lelaki bersahaja ini? Namanya sering muncul di koran, televisi, di buku-buku investasi dan keuangan. Dialah salah seorang dibalik kemajuan industri reksadana di Indonesia dan juga seorang pemimpin dari sebuah perusahaan investasi reksadana besar di negeri ini. Dalam posisinya seperti sekarang ini, boleh jadi kita beranggapan bahwa pria ini pasti super sibuk dengan segudang jadwal padat. Tapi dalam note ini saya tidak akan menyoroti kesuksesan beliau sebagai eksekutif. Karena ada sisi kesehariannya yang luar biasa!!!! Usianya sudah tidak terbilang muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi Pak Suyatno masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak. Dari isinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang ke empat. tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun,

Berlapang Dada - Sekuat Karang

  Aku tidak boleh menangisi nasibku yang bersuamikan siapa. Ini pilihanku sendiri. Kalaupun pilihanku ini membuat hidupku susah dan hidup sengsara lagi seperti apa yang dialami orangtuaku dulu, semoga Alah kuatkan pundakku. Aku tak boleh meratapi apa yang terjadi padaku kemarin, saat ini ataupun yang terjadi di masa depan meski itu akan terasa pahit dan menyedihkan dijalani. Menangis hanya akan membuatku tidak berani menerima kenyataan dan takut unntuk melangkah maju meninggalkan beban yang ada di pundaku saat ini. Kalaupun aku melangkah untuk melepaskan beban di pundak yang nantinya hanya untuk berganti dengan beban lain yang mungkin lebih berat, berharap saja agar beban itu akan dibuatNya lebih ringan untuk dijalani. Allah, aku tak ingin menyesali keputusanku. Tuntun aku dan kuatkan aku untuk menjalani hari-hari esok sebagai seorang anak, seorang istri dan juga seorang ibu bagi anakku. Aku pasrahkan masa depan anak dan keluargaku padaMu Ya Allah. KepadaMu aku berserah.

cord d'bagindas empat mata

Empat Mata d'Bagindas [intro] E B C#m A 3x E B Biarkanlah diri ini C#m A Untuk mencoba mendekatimu E B Mendekati indahnya dirimu C#m A Dirimu yang hadir di mimpiku [int] E B C#m A E B Berikanlah aku waktu C#m A Dan keadaan yang engkau mampu E B Empat mata yang ku mau C#m A B Untuk katakan cinta padamu F#m B Hati ini takkan bisa F#m B Lebih lama tuk memendam rasa [chorus] A E Empat mata bicara padamu C#m B Ku katakan aku cinta kamu A E Empat mata ku ingin bertemu C#m B Tuk ungkapkan isi di hatiku E B Berikanlah aku waktu C#m A Dan keadaan yang engkau mampu E B Empat mata yang ku mau C#m A B Untuk katakan cinta padamu F#m B Hati ini takkan bisa F#m B Lebih lama tuk memendam rasa [chorus] A E Empat mata bicara padamu