Rabu, 12 September 2018
Jakarta – Indonesia
Dear Diary,
Jam
menunjukkan masih pukul 21.00 WIB, untuk kota
sebesar Jakarta
jam segini bisa dibilang masih belum larut untuk beristirahat. Kebanyakan masih
di jalan atau baru saja sampai di rumah setelh seharian bekerja. Ya, beginilah
kehidupan di Ibu Kota Jakarta. Tapi beruntung, aku tinggal di kosan
yang tidak jauh dari kantor tempat aku bekerja. Tak harus berangkat jam 6 pagi
apalagi sebelum subuh untuk bisa sampai ke kantor sebelum pukul 8 pagi. Cukup 5
menit mengendarai kendaraan bermotor roda 2 untuk bisa sampai ke parkiran
Masjid dekat kantor.
Hari
ini lagi-lagi aku sendiri, ini kehidupan yang harus dijalani oleh istri-istri
yang long distance marriage. Bersuami tapi rasa jomblo, jadi tenang aja menurutku
jomblo itu bukan makhluk satu-satunya yang sering merasa kesepian tapi hubungan
seperti yang aku jalani ini ternyata lebih daripada kesepiannya para jomblo.
Ibarat bunga, dia tidaklah kuncup tapi juga tidak mekar jadi apa coba? Ya gitu
lah…mungkin yang senasib dengan aku silahkan tulis gimana rasanya menjalani
LDM.
Pernikahan
yang aku jalani dengan LDM ini sudah memasuki tahun ke 4. Kami masih belum
dikaruniai keturunan. Aku sudah mengalami beberapa keadaan yang berbeda meski
dengan personil inti 2 orang (aku dan suami). Satu, aku bekerja di kota Tanjung Tabalong dan
suami bekerja di Seruyung hanya bertemu saat malam ketika suami cuti dan itu
sangatlah melelahkan yang diakhiri aku masuk Rumah Sakit selama 10 hari.
Dua, aku di Purwokerto tinggal
bersama mertuaku dan happy aja sih meski ada kerikil-kerikil kecil. Aktifitasku
hanya kuliah di Sabtu dan Ahad, kajian di hari Rabu, mengajar anak-anak belajar
huruf hijaiyah setiap sore pukul 4, selebihnya main-main aja ke kampus tempat
mertuaku mengajar, ke gelanggang olah raga, ke warung makan favorit bareng
Mbak, atau mudik ke Semarang, dan menemani suami ketika ia sedang cuti. Ini
dunia yang sangat menyenangkan Cuma kurangnya satu : tetap saja “jomblo” kalau
ditinggal suami balik kerja lagi. Syedih kan?
Biasa aja lah (mencoba tegar). Ini berlangsung selama 1 tahun.
Tiga, di Purwokerto juga tapi
tinggal bersama mertua dan ditambah ipar. Masa-masa ini benar-benar masa
terberat diantara semuanya. Benar-benar ujian batin, entah sebenarnya aku yang
jahat atau hidup yang aku jalani saat itu yang begitu menguras air mata. Ini
berlangsung 9 bulan lamanya, digenapi 10 hari udah tinggal lahiran aja. Jangan
ditanya gimana rasanya! Ya gitulah….
Ke empat, di Purwokerto juga tapi
tinggal di rumah sendiri. Ini senang sih senang banget karena rumah sendiri.
Dan di rumahku anak-anak banyak yang pada berdatangan untuk belajar mengaji.
Seneng banget dan aku rasanya bahagia banget seperti terbebas dari neraka. Tapi
tetap saja karena rumahku masih satu kompleks dengan rumah mertua, namanya api
unggun jika dekat sekali akan membakar jika menjauh hanya sedikit saja tetap
saja terena panasnya. Ya begitulah pengibaratannya keadaan di masa ini, tapi
ini tidak berlangsung lama hanya 1 bulan karena aku memutuska untuk bekerja di kota Jakarta.
Ke lima, di Jakarta tinggal di kosan yang jauh
dari kantor. Aku harus berangkat pukul 6 pagi jalan kaki ke halted an berdiri
pula saat sudah di busway. Pulang kerja adalah moment yang paling melelahkan
dan paling menegangkan. Berdiri dari jam 5 sore sampai jam 18.30 atau bisa
sesekali duduk. Tapi opsi kedua jangan pernah kamu harapkan karena bisa capek
sebelum capek. Ini hanya bertahan 1 bulan.
Ke enam, di Jakarta juga tapi
pindah ke apartement dekat kantor. Hanya 10-15 menit untuk sampai ke kantor dengan
kendaraan roda 2. Tinggal di apartement berasa seperti orang terasing
benar-benar ga ada sanak saudara, dijenguk sama orang tua aja Cuma sekali itu
pun waktu pertama kali pindahan dan kebetulan mertua lagi ada acara di Jakarta. Kalau orang
tuaku sendiri belum pernah keJakarta untuk jenguk, ya seharusnya anak sih yang
jenguk orang tua (mertua dan orangtua kandung). Huhuhuhu.. anak macam apa aku
ini, malah nyuruh orang tua jenguk aku di Jakarta.
Baiklah aku ga akan minta itu, tapi tetap rasanya pengen seperti teman-teman
yang orang tuanya singgah beberapa bulan atau barang sehari atau dua hari saja
untuk tinggal bersama anaknya di perantauan. Yasudahlah, cukup pendam saja nak
angan-anganmu itu.
Ke tujuh, di Jakarta juga tapi
bedanya ini di kos-an. Lebih manusiawi lah untuk kehidupan sosial yang aku
harapkan. Masih ada suara ramai orang-orangmengaji, ada kokok ayam, ada suara
adzan bersahut-sahutan, kalau mau keluar kos tak perlu naik lift yang tingginya
hingga 30lantai ke bawah. Ya, ini adalah masa yang sedang aku jalani. Baru
beberapa hari aku tinggal disini sendirian, karena pada waktu pindahan
kebetulan suamiku cuti jadi dia membantuku pindahan ke kos dna menemaniku di
awal aku menempati kamar ini. Cukup nyaman dengan kamar mandi dalam, tapi cukup
boros juga karena kami punya 1 kulkas dan menggunakan Air Conditioner 1 PK.
Ditambah lagi, kompor gas dengan tabung 3kg atau yang lebih besar itu “illegal”
di kosan ini. So, gimana ribetnya harus keluar tiap kali lapar atau terima
nasib kalau malam hari lapar tahan saja sampai besok pagi. Mau gofood, makanan
jadi mahal, masa iya tiap hari mau gofood. Sama aja mending aku turun tangga
keluar gerbang beli nasi warteg depan kosan. Kalaunya sama-sama kudu keluar
juga. Kalau mau masak, aku belum punya kompor minyak, mikir juga beli minyak
tanah dimana ya? Berapa sekarang harga minyak tanah 1 liter? Haha, ya inilah
kehidupan yang saat ini aku jalani. Setidaknya ada wifi kosan yang menemani di
kala malam. Jadi semangat untuk cerita diblog.
Ya sekian cerita hari ini, semoga
esok hari lebih baik dari hari ini. Salam kompak selalu.
Komentar
Posting Komentar