Suatu Minggu nan cerah Nashrul , seorang pemuda alim yang selalu ingin tau mengikuti sebuah kajian di masjid kampusnya. Dalam Benaknya sudah bertebaran beberapa pertanyaan untuk Pak Ustadz :
1. Apabila
seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang
muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?
2. Bagaimana
hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan
tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
3. Bagaimana
hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta)
kepada akhwat (wanita) calon istrinya?
Langsung aja kita simak jawaban PAk UStadz yuk.....
Benar sekali
pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya
dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat
dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang
yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti
perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup.
Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui
dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih
maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang
akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath
(campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas,
dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia
secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa
ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari
fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Telah
terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud
dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui
batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka
lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya,
kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka
berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal
fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu
Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati
dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
“Tidaklah
aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki
dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhuma)
Maka,
pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan
menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri
darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan
pelanggaran syariat sebagai berikut:
1.
Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari
ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada
shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid.
Dan seusai
shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak
bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak
meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid
terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini
ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih
Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar
ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di
mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki.
Sehingga
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah,
beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena
mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik
shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan
sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf
terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf
terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan
jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf
terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah,
maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam
keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara
yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi
di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya
mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan
kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath,
hal. 45)
Subhanallah........
Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab
syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah
aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat
59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga
tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan
yang lainnya :
“Hendaklah
mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau
harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana
dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
“Dan jika kalian
(para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal
itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat
dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung.
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang
mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi
setelahnya tidaklah demikian.
Tidak
diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh
terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh
antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu.
Juga karena
persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat,
baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan
rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu
hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk
pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat
yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk
berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang
terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat
yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat,
yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hati-hatilah
kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata:
“Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Jangan
sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama
mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu
karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak
ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat
dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai
keduanya.” (HR. Ahmad)
3. Berbagai
bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Telah
ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya,
kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar,
lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki
zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka
kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini
menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun
tanpa syahwat adalah zina mata .
Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam
bentuk menikmati adalah zina telinga.
Berbicara dengan wanita (selain istrinya)
dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan.
Menyentuh
wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang
lainnya adalah zina tangan.
Mengayunkan
langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah
zina kaki.
Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang
memikatnya, maka itulah zina kalbu.
Kemudian
boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti
kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti
kemaluannya telah mendustakan.
(Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan
nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Demi Allah,
sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi,
maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi
dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun
sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata:
“Tidak. Demi
Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka
dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian
pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat
An-Nur ayat 31-30:
“Katakan
(wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta
kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan
pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan
mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih
Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
“Aku
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang
tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara
dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang
wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak
boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak
boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah.
Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang
terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka
janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara
dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya
menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para
wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar
beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat
ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan
tanpa melembutkan suara.
Dengan
demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam
untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh
mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi
menjadi istri.
Baik
ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena
saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang
mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke
rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam
rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan
seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah.
Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara
yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah
dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang
mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal
lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan.
Bisa pula
dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan
seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai
keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus
membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah
yang tercela.
Hal ini
termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan
aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan
untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara
yang sama.
Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
“Adapun Abu
Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari
pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki
harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama
juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang
dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa
khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’
(130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon
istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat
atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu
terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh
dari fitnah.”
Perkara ini
diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik
yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor,
yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan
persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .
Wallahu
a’lam.
Komentar
Posting Komentar